Jumat, 30 November 2012

Hukum Urf



BAB I
PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang Masalah
Mempelajari ilmu ushul fiqh mempunyai manfaat yang sangat urgen, terutama untuk dapat menjabarkan, memahami dan mentranformasikan maksud nash-nash syariah kedalam suatu format hukum syariat agar sesuai dengan tujuan syari’ (المصالح التي استهدفها الشارع الحكيم).  Ilmu ushul fiqh adalah suatu ilmu yang menguraikan tentang metode yang dipakai para imam mujtahid untuk menggali dan menetapkan hukum syar’i dari nash. Artinya ilmu ushul fiqh merupakan kajian metodologis untuk mengambil dan menggeneralisasikan suatu illat dari nash serta cara yang paling tepat untuk penetapannya. Dalam arti lain, ushul fiqh adalah untuk menjembatani antara nushusu syariah yang terbatas dan kejadian-kejadian actual yang tidak terbatas (An-Nushus mutanaahiyah wal waqa’I gahiru mutanaahiyah). Hal ini dimaksudkan agar Al-qur’an dan Hadis dapat melebar (menjawab problematika umat) maka dibuatlah sebuah metodologi.
Dalam literatur ilmu ushul fiqh salah satu permasalahan yang dikaji adalah Metode Syar’a man Qablana (syariat para nabi sebelum Muhammad). Meskipun kepopulerannya setingkat lebih bawah dari pembahasan metode ijma’, istihsan, maslahah mursalah, namun metode ini tak luput juga dari pembahasan dan perdebatan para ulama ushul. Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan dipaparkan beberapa uraian penting seputar problem Metode Syar’a.

B.  Rumusan Masalah
Dalam hal ini penulis berusaha membahas beberapa masalah yakni sebagai berikut :
1.  Apa yang dimaksud dengan Urf ?
2.  Apa Dasar Hukum Urf ?
3.  Apa Saja Permasalahn Urf  ?
4.  Apa Kedudukan Urf  ?
5.  Bagaimana pendapat ulama tentang hukum Urf ?

C.  Metode Penelitian
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode library research yaitu mengambil dan menelaah buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang dibahas sebagai bahan acuan untuk mempermudah proses pembuatan makalah ini.

D.  Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1)    Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Urf.
2)    Kita bisa mengetahui pembagian dari Urf.
3)    Agar kita tahu hukum Hukum Urf.
4)    Untuk mengetahui apa pendapat ulama tentang Hukum Urf.
5)    Untuk memenuhi tugas mandiri mata kuliah Ushul Fiqh.




BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Urf
Secara etimologi Kata Urf berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat”. Sedangkan secara terminologi seperti yang dikemukkan oleh Abdul-Karim Zaidan,istilahn urf  berarti:
                                                     
Sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan baik berupa perbuatan maupun perkataan”

Istilah Urf dalam pengertian tersebut sama dengan pengertian istilah al-‘adah(adad istiadat).Para ulama ushul fiqih membedakan antara adat dengan urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil  untuk menetapkan hukum syara’. Adat didefenisikan dengan:
“sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tampa adanya hubungan rasional”

Defenisi ini menujukkan bahwa apabila suatu perbuatan dilakukan secara berulan-ulang menurut hukun akal, tidak dinamakan adat. Defenisi ini juga menujukkan bahwa adat itu mencakup persoalan yang amat luas, yang menyangkut permasalahan pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam tidur, makan dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu atau permasalahan yang menyangkut banyak orang yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran yang baik dan yang buruk.
Adapun urf menurut ulama ushul fiqih adalah:
     Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan”

Berdasarkan defenisi ini, Mushthafa Ahmad al-Zarqa’ (guru besar Fiqih Islam  Unifersitas’ ‘Amman ,Jordania) mengatakan bahwa urf merupakan baigian dari adat, karena adat lebih umum dari urf. Suatu urf menurutnya harus berlaku kepada kebanyakan orang didaerah tertentu bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan urf bukanlah kebiasaan alami sebagai mana yang berlaku dalam kebanyakan adat tapi muncul dari sesuatu pemikiran dan pengalaman.

B.  Menjelaskan Dasar Hukum
Menurut hasil penelitian al-Tayyib Khudari al-Sayyid, guru besar Ushul Fiqih di Universitas Al-Azhar Mesir dalam karyanya fi al-ijtihad ma la nassa fih, bahwa mazhab yang dikenal banyak menggunakan Urf sebagai landasan hokum adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan malikiyyah, dan selanjutnya oleh kalangan Hanabilah dan kalangan Syafi’iyah. Menurutnya, pada prinspnya mazhab-mazhab besar fiqih tersebut sepakat menerima adat istiadat sebagai landasan pembentukan hokum, meskipun dalam jumlah dan rinciannya terdapat perbedaan pendapat diantara mazhab-mazhab tersebut, sehingga Urf dimasukkan kedalam kelompok dalil-dalil yang diperselisihkan dikalangan ulama.
     Urf mereka terima sebagai landasan hukum dengan beberapa alasan , antara lain :
Surat al-a’raf ayat 199:
Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf 199)

Kata al-Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyrakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Misal adat kebiasaan yang diakui, kerja sama dagang dengan cara berbagi untung (al-mudarabah). Praktik seperti ini telah berkembang di bangsa Arab sebelum Islam. Berdasarkan kenyataan ini, para Ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan landasan hokum, bilamana memenuhi beberapa persyaratan.
Adat yang benar, wajib di perhatikan dalam pembentukan hokum syara’dan putusan perkara. Seorang mujtahid harus memperhatikan hal ini dalam pembentukan hukumnya dan bagi hakim juga harus memperhatikan hal itu dalam setiap keputusanya. Karena apa yang sudah diketahui dan dibiasakan oleh m,anusia adalah menjadi kebutukan mereka,  disepakati dan ada kemaslahatanya. Selama ia tidak bertentangan dengan syara’ maka harus dijaga. Syari’ telah menjaga adat yang benar diantara adat orang arab dalam pembentukan hukumnya. Seperti menetapkan kewajiban denda atas  orang perempuan berakal, mensyaratkan dan memperhitungkan ahli waris yang tidak mendapat bagian pasti dalam perwalian dan pembagian harta warisan.
Oleh karna itu ulama berkata: Adat adalah syariat yang dikuatkan sebagai hukum, sedangkan adat juga dianggap sebagai syara’. Imam Malik membentuk banyak hukum berdasarkan perbuatan penduduk madinah. Abu Hanifah dan para muritnya berbeda dalam menentukan hukumnya, tergantung pada adat mereka. Imam syafi’I ketika berada di Mesir, mengubah sebagian hukum yang di tetapkan ketika beliau berada di Baghdad karena perbadan adat. Oleh kerena itu iya memiliki dua pendapat, pendapat baru dan pendapat lama. (Qaul Qodim dan Qaul jaded).
Hukum yang didasarkan oleh urf itu dapat berubah-ubah menurut perubahan zaman. Dengan demikian para fuqaha berkata “perselisihan itu di sebabkan oleh perubahan masa bukan perselisihan hujah dan bukti”. Oleh karna itu, para ulama mengamalakn urf dalam menetapkan hukum dengan syarat:
a.    Adat atau urf itu mengandung maslahat dan dapat di terima oleh akal. Syarat ini adalah yang bersifat tetap dalam ufr sahih yang dapat diterima secara umum. Contohnya, ada suatu kebiasaan, istri yang ditinggal mati oleh suaminya maka ia tidak akan kawin lagi untuk seterusnya meskipun ia masih muda belia. Mungkin ini dinilai baik untuk satu adat daerah tertentu namun tidak dapat diterima oleh akal sehat.
b.    Adat itu tidak bertentaangan dengan dalil syara’. Contohnya kebiasan menghormati orang tua dengan mencium kedua tanganya. Dari uraian diatas dapat di simpulkan bahwa urf adalah bukan sumber hukum yang berdiri sendiri. Ia harus ada sandaran atau bpendukungnya baik dalam bentuk ijma maupun maslahat. Adat yang berlaku dikalangan umat  berarti telah diterima secara baik oleh umat. Bila semua ulama telah mengamalkan maka secara tidak langsung telah terjadi ijma meskipun dalam bentuk sukati.
Adat itu diterima oleh orang karena mengandung kemaslahatan. Tidak memakai adat berarti tidak menerima kemaslahatan. Para ulama telah sepakat tentang ke harusan untuk mengambil sesuatu yang bernilai maslahat meskipun itu tidak ada nasnya.
Terdapat perbedaan para ulama terhadap kehujahan urf. Menurut Al-Tayyib Khudari al-Sayyid, guru besar ushul fiqih di universitas al-Azhar sebagaimana dikutip oleh Satria Effendi.­­46 Menurutnya mazhab yang banyak menggunakan urf sebagai landasan hukum adalah ulama Hanafiyah dan Malikiyah dan selanjutnya Ulama Syafeiiyah. Pada perinsipnya mazhab-mazhab besar fiqih ini sepakat menerima adat istiadat sebagai dasar pembentukan hukum meski terdapat unsur-unsur perbedaan diantara mereka, sehingga urf dimasukan kedalam sumber hukum yang diperselisihkan.
Alasan mereka dalam menerima urf di dasari oleh:
1.    Al-Qur’an surat al-A’raf17 ayat 199:
Artinya : jadilah Engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.

Pada ayat diatas terdapat kata urf (ma’ruf) yang harus dikerjakan oleh manusia. Para ulama ushul fiqih memahami kata urf sebagai sesuatu yang baik yang telah menjadi kebiasaan masyarakat. Sehingga ayat tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengerjakan sesuatu yang dianggap baik yang telah mentradisi di masyarakat.

2.         Sejak kehadiranya, Islam telah banyak mengakui adat dan tradisi yang abik yang tidak bertentangan dengan Al-Quar’an dan sunah nabi. Islam tidak menghapuskan tradisi yang ada tetapi menyeleksi tradisi yang baik yang tidak bertentangan dengan syariat kemudian diakui dan dilestarikan seperti kebiasaan dagang dengan cara bagi keuntungan (mudharabah). Tradisi ini telah di praktekan oleh bangsa arab ketika islam datang kemudian dilestarikan oleh islam. Adapun tradisi yang buruk dan bertentangan dengan syariat, maka islam tidak segan-segan untuk menghapus tradisi itu seperti tradisi arab  dan minum minuman khamar, riba nasiah, berjudi, dan menyembah berhala.

C.  Permasalahan Urf
Urf yang berlaku di tengah-tengah msyarakat adakalanya bertentangan dengan nash (ayat atau hadis) dan adakalanya berteentangan dengan dalil syara’ lainnya. Dalam persoalan pertentangan ‘urf dengan nash, para ahli ushul fiqh merincinya sebagai berikut :
  1. Pertentangan urf dengan nash yang bersifat khusus.
Apabila pertentangan urf dengan nash yang bersifat khusus menyebabkan tidak berfungsinya huklum yang dikandung nash, maka urf tidak dapat diterima. Misalnya, kebiasaan di zaman jahiliyyah dalam megadopsi anak, dimana anak yang di adopsi itu statusnya sama dengan anak kandung, sehingga mereka mendapat warisan apabila ayah angkatnya wafat. urf seperti ini tidak berlaku dan tidak dapat diterima.
  1. Pertentangan urf dengan nash yang bersifat umum.
Menurut Musthafa ahmad Al-Zarqa’, apabila urf telah ada ketika datangnya nash yang bersifat umum, maka harus dibedakan antara urf al-lafzhi dengan urf al-‘amali, apabila urf tersebut adalah urf al-lafzhi, maka urf tersebut bias diterima. Sehingga nash yang umum itu dikhususkan sebatas urf al-lafzhi yang telah berlaku tersebut, dengan syarat tidaka ada indikator yang menunjukkan nash umum itu tidak dapat di khususkan olehh urf. Misalnya: kata-kata shalat, puasa, haji, dan jual beli, diartikan dengan makna urf, kecuali ada indikator yang menunjukkan bahwa kata-kata itu dimaksudkan sesuai dengan arti etimologisnya.
  1. Urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan dengan urf tersebut.

Apabila suatu urf terbentuk setelah datangnya nash yang bersifat umum dan antara keduanya terjadi pertentangan, maka seluruh ulama fiqih sepakat menyatakan urf seperti ini, baik yang bersifat lafzhi (ucapan ) maupun yang bersifat amali (praktik), sekalipun urf tersebut bersifat umum, tidak dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hokum syara’, karena keberadaan urf ini muncul ketika nash syara’ telah menentukan hokum secara umum.

D.  Mendeskripsikan Kedudukan Atau Kehujjahannya
Sebagaimana yang telah dinyatakan bahwa urf yang dapat dijadikan sumber hukum atau dalil dalam Islam adalah urf yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Adapun kehujjahan urf sebagai dalil didasarkan atas alasan-alasan berikut ini:
a. Firman Allah dalam surat Al-A’raf (7):  199
Artinya:  Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.

Dalam ayat di atas Allah SWT  memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang ma’ruf. Ma’ruf itu sendiri ialah yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang  dan yang sesuai dengan nilai-nilai keislaman.

ü  Ucapan sahabat Rasulullah saw., Abdullah bin Mas’ud berkata:

“Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah, dan sesuatu yang dinilai buruk oleh kaum muslimin adalah buruk di sisi Allah.”

Ungkapan Abdullah bin Mas’ud di atas, menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasan baik yang berlaku di dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntunan umum syari’at Islam, merupakan sesuatu yang baik pula di sisi Allah. Oleh karena itu, kebiasaan semacam itu patut untuk dijaga dan dipelihara.
Dengan demikian, ulama merumuskan kaidah hukum yang berkaitan dengan urf antara lain sebagai berikut :
“Adat kebiasaan dapat menjadi hukum.”
“Yang berlaku berdasarkan ‘urf, (seperti) berlaku berdasarkan dalil syara.”
“Semua ketentuan syara’ yang bersifat mutlak dan tidak ada pembatasan di dalamnya dan tidak juga terdapat batasan di segi bahasanya, maka dirujuk kepada ‘urf.”

Oleh ulama Hanafiyyah, ‘urf itu didahulukan atas qiyâs khafî (qiyâs yang tidak ditemukannya ‘illah secara jelas) dan juga didahulukan atas nash yang umum, dalam arti ‘urf itu men-takhshîs nash yang umum. Ulama Malikiyyah juga demikian, menjadikan ‘urf yang hidup di kalangan penduduk Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum.Ulama Syâfi`iyyah banyak menggunakan ‘urf dalam hal-hal yang tidak menemukan ketentuan batasan dalamsyara` maupun dalam penggunaan bahasa. Berikut ini beberapa contoh penerapan urf dalam hukum Islam:

E.  Kedudukan Urf
Pendapat ulama hanafiyyah yang menyatakan bahwa sesorang yang bersumpah tidak akan makan daging, kemudian dia makan ikan maka tidaklah dianggap sesorang itu melanggar sumpahnya. Karena berdasarkan kebiasaan urf, kata daging tidak diartikan dengan kata ikan .
Adapun contoh lainnya dalam penggunaan urf yaitu tentang usia seseorang itu dikatakan baligh, tentang ukuran sedikit banyaknya najis yang dima’afkan, atau tentang ukuran timbangan yang belum dikenal pada masa Rasulullah saw. dan masih banyak contoh yang lainnya berkenaan masalah urf.
Para ualama ushul fiqh sepakat bahwa urf al-shahih, yaitu urf yang tidak bertentangan dengan syara’. Baik yang menyangkut dengan urf al-am dan urf al-khas maupun yang berkaitan dengan ‘urf al-lafzhi dan urf al-amali, dapat dijkadikan hujjah dalam menetapkan hokum syara.

F.    Syarat-Syarat ‘Urf
Para ulama Ushul menyatakan bahwa sutau ‘urf baru dapat dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum Syara’ apabila memenuhi sayarat-syarat sebagai berikut:
1.    Urf itu harus berlaku secara umum dalam mayoritas kalangan masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut, baik itu ‘urf dalam bentuk praktek, perkataan, umum dan khusus.
2.    Urf itu memang telah memasyarakat sebelumnya.
3.    Urf tidak bertentangan dengan apa yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi. Seperti apabila dalam suatu transaksi dikatakan secara jelas bahwa si pembeli akan membayar uang kirim barang, sementara ‘urf yang berlaku adalah si penjuallah yang menanggung ongkos kirim, maka dalam kasus seperti ‘urf tidak berlaku.
4.    Urf tidak bertentang dengan nash, sehingga menyebabkan hukum yang dikandung nash tersebut tidak bisa diterapkan. ‘Urf seperti ini tidak dapat dijadikan dalil syara’ karena kehujjahan ‘urf baru bisa diterima apabila tidak ada nash yang mengandung hukum permasalahan yang dihadapi.

G. Menguraikan Kaidah-Kaidah Fiqih Tentang ‘Urf
Ada beberapa kaidah Fikhiyyah yang menurut kami berhubungan dengan ‘urf. di antaranya adalah:
1.    Adat itu adalah hukum
2.    Apa yang ditetapkan oleh syara’ secara umum tidak ada ketentuan yang rinci di dalamnya dan juga tidak ada dalam bahasa maka ia dikembalikan kepada ‘urf
( ما ورد به الشرع مطلقا و لا ضابط له فيه و لا فى اللغة يرجع فيه إلى العرف).
Abdul Hamid Hakim mendasarkan dua kaidah atas ayat:
و أمر بالعرف و اعرض عن الجاهلين (الأعراف 199)
Suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang bodoh.

3.    Tidak dingkari bahwa perubahan hukum disebabkan oleh perubahan zaman dan tempat
(لا ينكر تغير الأحكام بتغير الأزمنة و الأمكنة)
4.    Yang baik itu jadi ‘urf seperti yang disyaratkan jadi syarat
 (المعروف عرفا كالمشروط شرطا)
5.    Yang ditetapkan melalui ‘urf seperti yang ditetapkan melalui nash
(الثابت بالعرف كالثابت بالناص)
Tapi perlu diperhatikan bahwa hukum disini bukanlah seperti hukum yang dietapkan melalui Alquran dan Sunnah akan tetapi hukum yang ditetapkan melalui ‘urf itu sendiri

H.   Mengapresiasi Implikasi Perubahan’urf
Hukum-hukum yang berdasarkan ‘urf itu sendiri dapat berubah menurut perubahan ‘urf pada suatu masa atau perubahan lingkungan. Oleh para fuqaha’ mengatakan mengenai perbedaan-perbedaan yang timbul dalam masalah fiqh, merupakan perbedaan yang terjadi disebabkan perbedaan ‘urf, bukannya perbedaan hujjah atau dalil yang lainnya.
Sebagai contoh di dalam mazhab Syafi’i dikenal adanya qaul qadim dan qaul jadid Imam Syafi’i. Hal ini disebabkan perbedaan ‘urf di lingkungan tempat tinggal Imam Syafi’I sendiri.
Dalam konteks ini dikenal kaidah yang menyebutkan :
Suatu hukum brubah seiring dengan terjadinya perubahan waktu, tempat, keadaan, individu, dan lingkungan.
Dengan demikian, pendapat yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang kaku serta ketinggalan zaman adalah salah. Islam berjalan seiring dengan perkembangannya zaman. Namun perlu diperhatikan bahwa hukum-hukum yang dapat berubah di sini terjadi pada hukum yang berdasarkan dalil zhanni. Dalam hukum yang berdasarkan dalil qath’i yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya maka tidak boleh ada perubahan, seperti perintah mengerjakan shalat, puasa, zakat, pengharaman riba, dan sebagainya.
Hukum yang dapat berubah karena ‘urf ini dapat kita contohkan seperti pendapat Abu Hanifah bahwa kesaksian sesorang yang dhahirnya tidak fasik dapat dijadikan saksi, kecuali pada kasus hudud dan qisas. Akan tetapi, murid beliau Abu Yusuf menyatakan bahwa kesaksian baru dapat diterima setelah melakukan penyelidikan yang mendalam terhadap sifat-sifat saksi tersebut. Pendapat Imam Abu Hanifah sejalan dengan masanya karena pada umumnya akhlak dan agama masyarakat masih dipegang teguh dan terpelihara. Demikian pula halnya dengan pendapat Abu Yusuf sesuai dengan kondisi pada masanya, di mana masyarakat pada umumnya mulai mengalami kemerosotan agama dan akhlak.



BAB III
PENUTUP

  A.  Kesimpulan
Dari pembahasan diatas penulis dapat menarik kesimpulan yaitu :
1.      Kata  Urf secara etimologi berarti “ sesuatu yang di pandang baik dan diterima oleh akal sehat”
2.      Dari segi objeknya Urf dibagi kepada : al- urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al- urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
3.      Dari segi cakupannya, urf terbagi dua yaitu al-urf al-‘am 9kebiasaan yang bersifat umum) dan al- urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).
4.      Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, urf terbagi dua; yaitu alurf al-shahih ( kebiasaan yang dianggap sah) dan al-urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).
5.      Para ualama ushul fiqh sepakat bahwa urf al-shahih, yaitu urf yang tidak bertentangan dengan syara’.






















v

Tidak ada komentar:

Posting Komentar