BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mempelajari ilmu ushul fiqh mempunyai manfaat yang
sangat urgen, terutama untuk dapat menjabarkan, memahami dan mentranformasikan
maksud nash-nash syariah kedalam suatu format hukum syariat agar sesuai dengan
tujuan syari’ (المصالح التي استهدفها الشارع الحكيم). Ilmu ushul fiqh
adalah suatu ilmu yang menguraikan tentang metode yang dipakai para imam
mujtahid untuk menggali dan menetapkan hukum syar’i dari nash.
Artinya ilmu ushul fiqh merupakan kajian metodologis untuk mengambil dan
menggeneralisasikan suatu illat dari nash serta cara yang paling tepat untuk
penetapannya. Dalam arti lain, ushul fiqh adalah untuk menjembatani antara
nushusu syariah yang terbatas dan kejadian-kejadian actual yang tidak terbatas
(An-Nushus mutanaahiyah wal waqa’I gahiru mutanaahiyah). Hal ini dimaksudkan
agar Al-qur’an dan Hadis dapat melebar (menjawab problematika umat) maka
dibuatlah sebuah metodologi.
Dalam literatur ilmu ushul fiqh salah satu
permasalahan yang dikaji adalah Metode Syar’a man Qablana
(syariat para nabi sebelum Muhammad). Meskipun kepopulerannya setingkat lebih
bawah dari pembahasan metode ijma’, istihsan, maslahah mursalah, namun metode
ini tak luput juga dari pembahasan dan perdebatan para ulama ushul. Oleh karena
itu, dalam tulisan ini akan dipaparkan beberapa uraian penting seputar problem
Metode Syar’a.
B. Rumusan Masalah
Dalam hal ini penulis berusaha
membahas beberapa masalah yakni sebagai berikut :
1.
Apa yang dimaksud dengan Urf ?
2. Apa Dasar Hukum Urf ?
3. Apa Saja Permasalahn Urf ?
4. Apa Kedudukan
Urf ?
5. Bagaimana
pendapat ulama tentang hukum Urf ?
C. Metode Penelitian
Dalam
penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode library research yaitu
mengambil dan menelaah buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang dibahas
sebagai bahan acuan untuk mempermudah proses pembuatan makalah ini.
D. Tujuan Penulisan Makalah
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah :
1)
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Urf.
2)
Kita bisa mengetahui pembagian dari Urf.
3)
Agar kita tahu hukum Hukum Urf.
4)
Untuk mengetahui apa pendapat ulama tentang Hukum Urf.
5)
Untuk memenuhi tugas mandiri mata kuliah Ushul Fiqh.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Urf
Secara
etimologi Kata Urf berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal
sehat”. Sedangkan secara terminologi seperti yang dikemukkan oleh Abdul-Karim
Zaidan,istilahn urf berarti:
“Sesuatu yang tidak asing lagi
bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan
kehidupan baik berupa perbuatan maupun perkataan”
Istilah Urf
dalam pengertian tersebut sama dengan pengertian istilah al-‘adah(adad
istiadat).Para ulama ushul fiqih membedakan antara adat dengan urf dalam
membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil
untuk menetapkan hukum syara’. Adat didefenisikan dengan:
“sesuatu yang dikerjakan secara
berulang-ulang tampa adanya hubungan rasional”
Defenisi ini
menujukkan bahwa apabila suatu perbuatan dilakukan secara berulan-ulang menurut
hukun akal, tidak dinamakan adat. Defenisi ini juga menujukkan bahwa adat itu
mencakup persoalan yang amat luas, yang menyangkut permasalahan pribadi,
seperti kebiasaan seseorang dalam tidur, makan dan mengkonsumsi jenis makanan
tertentu atau permasalahan yang menyangkut banyak orang yaitu sesuatu yang
berkaitan dengan hasil pemikiran yang baik dan yang buruk.
Adapun urf
menurut ulama ushul fiqih adalah:
“Kebiasaan
mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan”
Berdasarkan
defenisi ini, Mushthafa Ahmad al-Zarqa’ (guru besar Fiqih Islam Unifersitas’ ‘Amman ,Jordania) mengatakan
bahwa urf merupakan baigian dari adat, karena adat lebih umum dari urf. Suatu urf
menurutnya harus berlaku kepada kebanyakan orang didaerah tertentu bukan pada
pribadi atau kelompok tertentu dan urf bukanlah kebiasaan alami sebagai mana
yang berlaku dalam kebanyakan adat tapi muncul dari sesuatu pemikiran dan
pengalaman.
B. Menjelaskan
Dasar Hukum
Menurut hasil penelitian al-Tayyib Khudari al-Sayyid, guru besar Ushul
Fiqih di Universitas Al-Azhar Mesir dalam karyanya fi al-ijtihad ma la nassa
fih, bahwa mazhab yang dikenal banyak menggunakan Urf sebagai landasan
hokum adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan malikiyyah, dan selanjutnya oleh
kalangan Hanabilah dan kalangan Syafi’iyah. Menurutnya, pada prinspnya
mazhab-mazhab besar fiqih tersebut sepakat menerima adat istiadat sebagai
landasan pembentukan hokum, meskipun dalam jumlah dan rinciannya terdapat
perbedaan pendapat diantara mazhab-mazhab tersebut, sehingga Urf dimasukkan
kedalam kelompok dalil-dalil yang diperselisihkan dikalangan ulama.
Urf mereka terima sebagai landasan hukum
dengan beberapa alasan , antara lain :
Surat
al-a’raf ayat 199:
Jadilah
engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf 199)
Kata al-Urf
dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama
Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan
masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk
mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi
dalam suatu masyarakat.
Pada
dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau
tradisi itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu
dengan masyrakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta
ada pula yang dihapuskan. Misal adat kebiasaan yang diakui, kerja sama dagang
dengan cara berbagi untung (al-mudarabah). Praktik seperti ini telah
berkembang di bangsa Arab sebelum Islam. Berdasarkan kenyataan ini, para Ulama
menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan landasan
hokum, bilamana memenuhi beberapa persyaratan.
Adat yang benar, wajib di perhatikan dalam
pembentukan hokum syara’dan putusan perkara. Seorang mujtahid harus
memperhatikan hal ini dalam pembentukan hukumnya dan bagi hakim juga harus
memperhatikan hal itu dalam setiap keputusanya. Karena apa yang sudah diketahui
dan dibiasakan oleh m,anusia adalah menjadi kebutukan mereka, disepakati dan ada kemaslahatanya. Selama ia
tidak bertentangan dengan syara’ maka harus dijaga. Syari’ telah menjaga adat
yang benar diantara adat orang arab dalam pembentukan hukumnya. Seperti
menetapkan kewajiban denda atas orang
perempuan berakal, mensyaratkan dan memperhitungkan ahli waris yang tidak
mendapat bagian pasti dalam perwalian dan pembagian harta warisan.
Oleh karna itu ulama berkata: Adat adalah syariat
yang dikuatkan sebagai hukum, sedangkan adat juga dianggap sebagai syara’. Imam
Malik membentuk banyak hukum berdasarkan perbuatan penduduk madinah. Abu
Hanifah dan para muritnya berbeda dalam menentukan hukumnya, tergantung pada
adat mereka. Imam syafi’I ketika berada di Mesir, mengubah sebagian hukum yang
di tetapkan ketika beliau berada di Baghdad karena perbadan adat. Oleh kerena
itu iya memiliki dua pendapat, pendapat baru dan pendapat lama. (Qaul Qodim dan
Qaul jaded).
Hukum yang
didasarkan oleh urf itu dapat berubah-ubah menurut perubahan zaman. Dengan
demikian para fuqaha berkata “perselisihan
itu di sebabkan oleh perubahan masa bukan perselisihan hujah dan bukti”. Oleh
karna itu, para ulama mengamalakn urf dalam menetapkan hukum dengan syarat:
a.
Adat atau urf itu mengandung maslahat dan dapat di
terima oleh akal. Syarat ini adalah yang bersifat tetap dalam ufr sahih yang
dapat diterima secara umum. Contohnya, ada suatu kebiasaan, istri yang
ditinggal mati oleh suaminya maka ia tidak akan kawin lagi untuk seterusnya
meskipun ia masih muda belia. Mungkin ini dinilai baik untuk satu adat daerah
tertentu namun tidak dapat diterima oleh akal sehat.
b.
Adat itu tidak bertentaangan dengan dalil syara’.
Contohnya kebiasan menghormati orang tua dengan mencium kedua tanganya. Dari
uraian diatas dapat di simpulkan bahwa urf adalah bukan sumber hukum yang
berdiri sendiri. Ia harus ada sandaran atau bpendukungnya baik dalam bentuk ijma maupun maslahat. Adat yang berlaku
dikalangan umat berarti telah diterima
secara baik oleh umat. Bila semua ulama telah mengamalkan maka secara tidak
langsung telah terjadi ijma meskipun
dalam bentuk sukati.
Adat itu
diterima oleh orang karena mengandung kemaslahatan. Tidak memakai adat berarti
tidak menerima kemaslahatan. Para ulama telah sepakat tentang ke harusan untuk
mengambil sesuatu yang bernilai maslahat meskipun itu tidak ada nasnya.
Terdapat
perbedaan para ulama terhadap kehujahan urf. Menurut Al-Tayyib Khudari
al-Sayyid, guru besar ushul fiqih di universitas al-Azhar sebagaimana dikutip
oleh Satria Effendi.46 Menurutnya mazhab yang banyak menggunakan
urf sebagai landasan hukum adalah ulama Hanafiyah dan Malikiyah dan selanjutnya
Ulama Syafeiiyah. Pada perinsipnya mazhab-mazhab besar fiqih ini sepakat
menerima adat istiadat sebagai dasar pembentukan hukum meski terdapat
unsur-unsur perbedaan diantara mereka, sehingga urf dimasukan kedalam sumber
hukum yang diperselisihkan.
Alasan mereka
dalam menerima urf di dasari oleh:
1.
Al-Qur’an surat al-A’raf17 ayat 199:
Artinya : jadilah Engkau pemaaf dan suruhlah orang
mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Pada ayat diatas
terdapat kata urf (ma’ruf) yang harus dikerjakan oleh manusia. Para ulama ushul
fiqih memahami kata urf sebagai sesuatu yang baik yang telah menjadi kebiasaan
masyarakat. Sehingga ayat tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengerjakan
sesuatu yang dianggap baik yang telah mentradisi di masyarakat.
2.
Sejak kehadiranya, Islam telah banyak mengakui adat
dan tradisi yang abik yang tidak bertentangan dengan Al-Quar’an dan sunah nabi.
Islam tidak menghapuskan tradisi yang ada tetapi menyeleksi tradisi yang baik
yang tidak bertentangan dengan syariat kemudian diakui dan dilestarikan seperti
kebiasaan dagang dengan cara bagi keuntungan (mudharabah). Tradisi ini telah di praktekan oleh bangsa arab ketika
islam datang kemudian dilestarikan oleh islam. Adapun tradisi yang buruk dan
bertentangan dengan syariat, maka islam tidak segan-segan untuk menghapus
tradisi itu seperti tradisi arab dan
minum minuman khamar, riba nasiah, berjudi, dan menyembah berhala.
C. Permasalahan
Urf
Urf yang
berlaku di tengah-tengah msyarakat adakalanya bertentangan dengan nash (ayat
atau hadis) dan adakalanya berteentangan dengan dalil syara’ lainnya. Dalam
persoalan pertentangan ‘urf dengan nash, para ahli ushul fiqh merincinya
sebagai berikut :
- Pertentangan urf dengan nash yang bersifat khusus.
Apabila
pertentangan urf dengan nash yang bersifat khusus menyebabkan tidak
berfungsinya huklum yang dikandung nash, maka urf tidak dapat diterima.
Misalnya, kebiasaan di zaman jahiliyyah dalam megadopsi anak, dimana anak yang
di adopsi itu statusnya sama dengan anak kandung, sehingga mereka mendapat
warisan apabila ayah angkatnya wafat. urf seperti ini tidak berlaku dan tidak
dapat diterima.
- Pertentangan urf dengan nash yang bersifat umum.
Menurut Musthafa
ahmad Al-Zarqa’, apabila urf telah ada ketika datangnya nash yang bersifat umum,
maka harus dibedakan antara urf al-lafzhi dengan urf al-‘amali, apabila urf
tersebut adalah urf al-lafzhi, maka urf tersebut bias diterima. Sehingga nash
yang umum itu dikhususkan sebatas urf al-lafzhi yang telah berlaku tersebut,
dengan syarat tidaka ada indikator yang menunjukkan nash umum itu tidak dapat
di khususkan olehh urf. Misalnya: kata-kata shalat, puasa, haji, dan jual beli,
diartikan dengan makna urf, kecuali ada indikator yang menunjukkan bahwa
kata-kata itu dimaksudkan sesuai dengan arti etimologisnya.
- Urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan dengan urf tersebut.
Apabila
suatu urf terbentuk setelah datangnya nash yang bersifat umum dan antara
keduanya terjadi pertentangan, maka seluruh ulama fiqih sepakat menyatakan urf
seperti ini, baik yang bersifat lafzhi (ucapan ) maupun yang bersifat amali
(praktik), sekalipun urf tersebut bersifat umum, tidak dapat dijadikan dalil
dalam menetapkan hokum syara’, karena keberadaan urf ini muncul ketika nash
syara’ telah menentukan hokum secara umum.
D. Mendeskripsikan
Kedudukan Atau Kehujjahannya
Sebagaimana
yang telah dinyatakan bahwa urf yang dapat dijadikan sumber hukum atau dalil
dalam Islam adalah urf yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits.
Adapun kehujjahan urf sebagai dalil didasarkan atas alasan-alasan berikut ini:
a. Firman
Allah dalam surat Al-A’raf (7): 199
Artinya: Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang
mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Dalam ayat
di atas Allah SWT memerintahkan kaum
muslimin untuk mengerjakan yang ma’ruf. Ma’ruf itu sendiri ialah yang dinilai
oleh kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang dan yang sesuai dengan nilai-nilai keislaman.
ü Ucapan
sahabat Rasulullah saw., Abdullah bin Mas’ud berkata:
“Sesuatu yang
dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah, dan sesuatu yang
dinilai buruk oleh kaum muslimin adalah buruk di sisi Allah.”
Ungkapan
Abdullah bin Mas’ud di atas, menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasan baik yang
berlaku di dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntunan umum syari’at
Islam, merupakan sesuatu yang baik pula di sisi Allah. Oleh karena itu,
kebiasaan semacam itu patut untuk dijaga dan dipelihara.
Dengan
demikian, ulama merumuskan kaidah hukum yang berkaitan dengan urf antara lain
sebagai berikut :
“Adat
kebiasaan dapat menjadi hukum.”
“Yang
berlaku berdasarkan ‘urf, (seperti) berlaku berdasarkan dalil syara.”
“Semua
ketentuan syara’ yang bersifat mutlak dan tidak ada pembatasan di dalamnya dan
tidak juga terdapat batasan di segi bahasanya, maka dirujuk kepada ‘urf.”
Oleh ulama
Hanafiyyah, ‘urf itu didahulukan atas qiyâs khafî (qiyâs yang
tidak ditemukannya ‘illah secara jelas) dan juga didahulukan atas nash yang
umum, dalam arti ‘urf itu men-takhshîs nash yang umum. Ulama Malikiyyah
juga demikian, menjadikan ‘urf yang hidup di kalangan penduduk Madinah
sebagai dasar dalam menetapkan hukum.Ulama Syâfi`iyyah banyak menggunakan ‘urf
dalam hal-hal yang tidak menemukan ketentuan batasan dalamsyara` maupun dalam
penggunaan bahasa. Berikut ini beberapa contoh penerapan urf dalam hukum Islam:
E. Kedudukan Urf
Pendapat
ulama hanafiyyah yang menyatakan bahwa sesorang yang bersumpah tidak akan makan
daging, kemudian dia makan ikan maka tidaklah dianggap sesorang itu melanggar
sumpahnya. Karena berdasarkan kebiasaan urf, kata daging tidak diartikan dengan
kata ikan .
Adapun contoh
lainnya dalam penggunaan urf yaitu tentang usia seseorang itu dikatakan baligh,
tentang ukuran sedikit banyaknya najis yang dima’afkan, atau tentang ukuran
timbangan yang belum dikenal pada masa Rasulullah saw. dan masih banyak contoh
yang lainnya berkenaan masalah urf.
Para ualama
ushul fiqh sepakat bahwa urf al-shahih, yaitu urf yang tidak bertentangan
dengan syara’. Baik yang menyangkut dengan urf al-am dan urf al-khas maupun
yang berkaitan dengan ‘urf al-lafzhi dan urf al-amali, dapat
dijkadikan hujjah dalam menetapkan hokum syara.
F.
Syarat-Syarat ‘Urf
Para ulama
Ushul menyatakan bahwa sutau ‘urf baru dapat dijadikan sebagai salah
satu dalil dalam menetapkan hukum Syara’ apabila memenuhi sayarat-syarat
sebagai berikut:
1. ‘Urf
itu harus berlaku secara umum dalam mayoritas kalangan masyarakat dan
keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut, baik itu ‘urf
dalam bentuk praktek, perkataan, umum dan khusus.
2. Urf itu memang
telah memasyarakat sebelumnya.
3. ‘Urf
tidak bertentangan dengan apa yang diungkapkan secara jelas dalam suatu
transaksi. Seperti apabila dalam suatu transaksi dikatakan secara jelas bahwa
si pembeli akan membayar uang kirim barang, sementara ‘urf yang berlaku
adalah si penjuallah yang menanggung ongkos kirim, maka dalam kasus seperti ‘urf
tidak berlaku.
4. ‘Urf
tidak bertentang dengan nash, sehingga menyebabkan hukum yang dikandung nash
tersebut tidak bisa diterapkan. ‘Urf seperti ini tidak dapat dijadikan
dalil syara’ karena kehujjahan ‘urf baru bisa diterima apabila tidak ada
nash yang mengandung hukum permasalahan yang dihadapi.
G. Menguraikan
Kaidah-Kaidah Fiqih Tentang ‘Urf
Ada beberapa
kaidah Fikhiyyah yang menurut kami berhubungan dengan ‘urf. di antaranya
adalah:
1. Adat itu
adalah hukum
2. Apa yang
ditetapkan oleh syara’ secara umum tidak ada ketentuan yang rinci di dalamnya
dan juga tidak ada dalam bahasa maka ia dikembalikan kepada ‘urf
( ما ورد به
الشرع مطلقا و لا ضابط له فيه و لا فى اللغة يرجع فيه إلى العرف).
Abdul Hamid
Hakim mendasarkan dua kaidah atas ayat:
و أمر بالعرف
و اعرض عن الجاهلين (الأعراف 199)
Suruhlah
orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang bodoh.
3. Tidak
dingkari bahwa perubahan hukum disebabkan oleh perubahan zaman dan tempat
(لا ينكر تغير
الأحكام بتغير الأزمنة و الأمكنة)
4. Yang baik
itu jadi ‘urf seperti yang disyaratkan jadi syarat
(المعروف عرفا كالمشروط شرطا)
5. Yang
ditetapkan melalui ‘urf seperti yang ditetapkan melalui nash
(الثابت
بالعرف كالثابت بالناص)
Tapi perlu diperhatikan bahwa hukum disini bukanlah
seperti hukum yang dietapkan melalui Alquran dan Sunnah akan tetapi hukum yang
ditetapkan melalui ‘urf itu sendiri
H. Mengapresiasi Implikasi Perubahan’urf
Hukum-hukum
yang berdasarkan ‘urf itu sendiri dapat berubah menurut perubahan ‘urf pada
suatu masa atau perubahan lingkungan. Oleh para fuqaha’ mengatakan mengenai
perbedaan-perbedaan yang timbul dalam masalah fiqh, merupakan perbedaan yang
terjadi disebabkan perbedaan ‘urf, bukannya perbedaan hujjah atau dalil yang
lainnya.
Sebagai
contoh di dalam mazhab Syafi’i dikenal adanya qaul qadim dan qaul jadid Imam
Syafi’i. Hal ini disebabkan perbedaan ‘urf di lingkungan tempat tinggal Imam
Syafi’I sendiri.
Dalam
konteks ini dikenal kaidah yang menyebutkan :
Suatu hukum
brubah seiring dengan terjadinya perubahan waktu, tempat, keadaan, individu,
dan lingkungan.
Dengan
demikian, pendapat yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang kaku serta
ketinggalan zaman adalah salah. Islam berjalan seiring dengan perkembangannya
zaman. Namun perlu diperhatikan bahwa hukum-hukum yang dapat berubah di sini
terjadi pada hukum yang berdasarkan dalil zhanni. Dalam hukum yang berdasarkan
dalil qath’i yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya maka tidak boleh
ada perubahan, seperti perintah mengerjakan shalat, puasa, zakat, pengharaman
riba, dan sebagainya.
Hukum yang
dapat berubah karena ‘urf ini dapat kita contohkan seperti pendapat Abu Hanifah
bahwa kesaksian sesorang yang dhahirnya tidak fasik dapat dijadikan saksi,
kecuali pada kasus hudud dan qisas. Akan tetapi, murid beliau Abu Yusuf
menyatakan bahwa kesaksian baru dapat diterima setelah melakukan penyelidikan
yang mendalam terhadap sifat-sifat saksi tersebut. Pendapat Imam Abu Hanifah
sejalan dengan masanya karena pada umumnya akhlak dan agama masyarakat masih
dipegang teguh dan terpelihara. Demikian pula halnya dengan pendapat Abu Yusuf
sesuai dengan kondisi pada masanya, di mana masyarakat pada umumnya mulai
mengalami kemerosotan agama dan akhlak.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas penulis dapat menarik kesimpulan yaitu :
1.
Kata Urf secara etimologi berarti “
sesuatu yang di pandang baik dan diterima oleh akal sehat”
2.
Dari segi objeknya Urf dibagi kepada : al- urf
al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al- urf al-amali
( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
3.
Dari segi cakupannya, urf terbagi dua yaitu al-urf
al-‘am 9kebiasaan yang bersifat umum) dan al- urf al-khash
(kebiasaan yang bersifat khusus).
4.
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, urf
terbagi dua; yaitu alurf al-shahih ( kebiasaan yang dianggap sah) dan al-urf
al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).
5.
Para ualama ushul fiqh sepakat bahwa urf al-shahih,
yaitu urf yang tidak bertentangan dengan syara’.
v
Tidak ada komentar:
Posting Komentar